Guthrie Berhad’s problems are far from over


Guthrie Berhad has lost a case in the Indonesian Supreme Court in excess of US$25 million, which has now ballooned to US$41 million, and the Indonesian Parliament was told that the Malaysian government-owned company is bribing court and land office officials in Kalimantan to prevent execution proceedings

THE CORRIDORS OF POWER

Raja Petra Kamarudin

A prominent Indonesian advocate, John K. Azis, acts in many high profile cases such as defending Tommy Suharto. He spoke of “kejengkelan Indonesia atas kebiadapan Malaysia” (Indonesia’s disgust over Malaysia’s insolence) with regards to the case of Guthrie Berhad that had lost a case in the Indonesian Supreme Court in excess of US$25 million, which has now ballooned to US$41 million.

[See the Judgment of the Supreme Court below]. 

Instead of paying up, Guthrie Berhad, now under Sime Darby, is blocking execution for the payment of that judgment.

This matter has now been raised in the Indonesian Parliament and Parliament was told that the Malaysian government-owned company is bribing court and land office officials in Kalimantan to prevent execution proceedings.

There is widespread anger about “syarikat gergasi Malaysia yang dimiliki kerajaan tidak menghormati hukum Indonesia” (Malaysian government-owned conglomerate’s disrespect for Indonesian laws).

To the Indonesians, the fact that Guthrie Berhad is a GLC implies that it is the Malaysian government that is showing affront to the Indonesian government.

[Read the news item by Rakyat Merdeka below].

John Azis made an ominous remark that Malaysia’s reluctance to assist the Indonesian party may impact Malaysian businesses — for example companies like CIMB, which is owned by Malaysian Prime Minister Najib Tun Razak’s brother.

**********************************************

DPR Mau Bongkar Permainan Hukum BUMN Malaysia

DPR menyatakan kesiapannya membongkar sengketa hukum perdata yang kini tengah bergulir antara PT. Adhiyasa Saranamas, perusahaan mediasi berbendera Indonesia, dengan Kumpulan Guthrie Berhad, salah satu BUMN milik Kerajaan Malaysia.

Kesiapan itu disampaikan anggota Komisi III DPR dari Partai Golkar, Nudirman Munir. Kepada Rakyat Merdeka kemarin. “Kalau sudah mentok, karena aparat hukum menggunakan tangan besi, silakan bawa kasus ini ke DPR. Kami akan menyelesaikannya,” ujar Nudirman.

Sengketa yang terjadi di antara kedua perusahaan itu berawal pada tahun 2000. Ketika itu, Kumpulan Guthrie Berhad ingin mengakuisisi aset PT. Holdico Perkasa yang telah diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk memuluskan langkahnya mengakuisisi PT Holdico Perkasa berikut anak pe­rusahaan dan aset-aset berupa perkebunan sawit di sejumlah kota, Kumpulan Guthrie Berhad menggunakan PT Adhiyasa se­ba­gai mediator. Dalam perjanjian, disebutkan Guthrie Ber­had akan memberikan komisi sebesar tujuh persen dari nilai transaksi.

Guthrie yang awalnya adalah perusahaan berbendera Inggris adalah salah satu perusahaan tua papan atas di Malaysia. Berdiri pada tahun 1821 di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Singapura. Pada tahun 1981 pemerintahan Mahathir Mohamad mengambil alih Guthrie dan menjadikannya sebagai perusahaan yang 100 persen sahamnya dipegang dan dikendalikan pemerintah Malaysia. Pengambilalihan ini memungkinkan Malaysia memperoleh kembali lahan pertanian seluar 800 kilometer persegi yang dikuasai Guthrie.

Pada tahun 1987, Guthrie dija­dikan perusahaan publik dan terdaftar sebagai salah satu peru­sahaan papan atas di Bursa Efek Kuala Lumpur. Pada tahap berikutnya, pemerintah Malaysia menggabungkan Guthrie dengan dua perusahaan sejenis lainnya, Sime Darby dan Golden Hope, dan memberikan nama baru untuk Synergy Drive dan kemu­dian Sime Darby. Kini, Sime Darby merupakan perusahaan ter­besar di Malaysia, juga merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan terbesar di dunia dengan lahan seluas 540 ribu hektar.

Kembali ke proses akuisisi PT Holdico dan asetnya di tahun 2000. Belakangan, setelah proses akuisisi yang dimediasi PT. Adhiyasa Saranamas berhasil dilakukan, Kumpulan Guthrie Berhad ingkar janji atau wanprestasi. Mereka enggan membayar komisi yang menjadi hak PT. Adhiyasa Saranamas dan dengan sengaja mengulur-ulur waktu.

Untuk mendapatkan haknya, PT Ahiyasa Saranamas menempuh berbagai proses hukum, mulai dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi Jakarta, sampai kasasi di Mahkamah Agung RI. Dalam semua proses pengadilan itu PT. Adhi­yasa menderita kekalahan telak.

Di tahun 2007, berbekal berbagai dokumen yang lebih lengkap dan alat bukti baru, PT. Adhiyasa Saranamas menga­jukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah hukum terakhir ke MA. PK ini dikabulkan MA dalam putusan perkara bernomor 410 PK/PDT/2007 tertanggal 22 Januari 2008. MA memerintahkan Kumpulan Guthrie Berhad untuk memenuhi kewajiban mereka memberikan komisi kepada PT. Adhiyasa Saranamas, juga harus membayar bunga sebesar enam persen.

Tetapi Guthrie masih enggan untuk membayarkan kewajiban mereka. “Dalam praktik hukum kita, pembayaran kewajian bisa dilakukan secara voluntary atau paksa lewat pengadilan. Dalam kasus klien kami, Kumpulan Guthrie berhad jelas tidak mau melakukannya secara sukarela,” ujar Daniel Alfredo, kuasa hukum PT. Adhiyasa Saranamas kepada Rakyat Merdeka kemarin petang.

Maka, PT. Adhiyasa Sara­na­mas pun kembali menempuh jalan hukum. Kali ini kepada PN Jakarta Selatan. PT. Adhiyasa Saranamas mengajukan permo­honan sita aset. Permohonan ini dipenuhi, dan PN Jakarta Selatan pun berkoordinasi dengan dua Pengadilan Negeri dimana aset yang hendak dieksekusi berada, yaitu PN Kota Ba­ru, Kalimantan Tengah, dan PN Sampit, Kalimantan Selatan.

Tetapi di dua wilayah ini, Kumpulan Guthrie kembali melakukan perlawanan. Kali ini dengan menggerakkan anak-anak perusahaan eks PT. Holdico Perkasa yang sesungguhnya sudah menjadi bagian dari Kumpulan Guthrie Berhad sejak akuisisi 2000.

Pengingkaran terus menerus perusahaan milik Kerajaan Malaysia inilah yang kemudian melahirkan tanda tanya besar, apakah di balik ini ada makelar kasus dan mafia hukum yang turut berperan?

****************************************************

“Ini Bisa Jadi Preseden Buruk”

Anggota Komisi III DPR RI dari Partai Golkar Nudirman Munir mengaku heran dengan sikap Pengadilan Negeri Sampit yang menunda eksekusi aset Kumpulan Guthrie Berhad di Sampit dan Kota Baru.

Menurut Nudirman Munir, perintah eksekusi yang dikeluarkan Pengadilan Negeri  ha­rus­lah segera dilakukan. Jangan sampai, sebut mantan pengacara Tommy Soeharto ini, eksekusi jadi terhalang karena ada pihak yang merasa keberatan.

“Apalagi perintah eksekusi ini telah didahului oleh keputusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung. Berarti, ini sudah merupakan putusan hukum yang sangat kuat. Pengadilan Negeri sebagai pelaksana eksekusi harus melaksanakannya. Kalau itu, ini sama dengan pelanggaran aturan,” ujar Nudirman Munir.

Ia juga mempersilakan pihak PT. Adiyasa Saranamas untuk membawa persoalan ini ke ge­dung Senayan. “Ajukan saja kasus ini ke Komisi III DPR yang memang mem­bidangi masalah hukum. Nanti akan kami sam­paikan. Bahwa ada Pengadilan Negeri di daerah, dalam hal ini Sampit dan Kota Baru, yang menolak perintah eksekusi. Ini bisa menjadi preseden buruk kalau dibiarkan,” ujarnya lagi.

****************************************************

“Mereka Jelas Bukan Pihak Ketiga”

Daniel Alfredo, Kuasa Hukum PT. Adhiyasa Saranamas

Perjuangan PT. Adhiyasa Saranamas yang dikadali Kumpulan Guthrie Berhad milik Malaysia dalam mencari keadilan, kembali terhambat. Pasalnya, tiga perusahaan eks PT. Holdico Perkasa yang kini berada di bawah Kumpulan Guthrie Berhad mengajukan perlawanan terhadap perintah sita dan ek­sekusi lahan perkebunan milik Guthrie di Kota Baru dan Sampit.

Ketiga perusahaan itu adalah PT. Teguh Sampurna dan PT. Kridatama Lancar di Sampit serta PT Ladang Rumpun Subur Abadi di Kota Baru. Kuasa Hukum PT. Teguh Sampurna dari kantor pengacara Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) mengatakan, kliennya yang memiliki HGU atas lahan sawit di Sampit memiliki hak untuk melakukan perlawanan karena tidak merupakan bagian dari pihak tergugat (Kumpulan Guthrie Berhad). Dengan kata lain, menurut PT. Teguh Sampurna, aset yang hendak dieksekusi bukanlah milik Kum­pulan Guthrie Berhad, melainkan milik mereka.

Alasan ini, menurut pengacara PT. Adhiyasa Saranamas, Daniel Alfredo, sangat dibuat-buat. Pasalnya, dalam praktik hukum Indonesia yang disebut pelawan adalah pihak ketiga murni. Sementara PT. Teguh Sampurna bukan merupakan pihak ketiga murni, karena merupakan bagian dari PT. Holdico Perkasa yang diakuisisi Kumpulan Guthrie Berhad tahun 2000 lampau.

“Jadi, dengan demikian pengakuan mereka bahwa mereka adalah pihak ketiga murni, sudah terbukti tidak tepat,” ujar Daniel Alfredo.

Hal lain yang membuat kecewa kliennya, masih ujar Daniel Alfredo, adalah karena perlawanan yang disampaikan PT. Teguh Sampurna telah mengganggu proses eksekusi. Padahal, dalam aturan hukum yang berlaku, proses perlawanan yang disampaikan mestinya tidak meng­gang­gu eksekusi yang telah ditetapkan oleh pengadilan.

“Nyatanya, proses perlawanan mereka membuat eksekusi terganggu. Entah karena ada intervensi atau karena ada kekhawatiran PN Sampit dan Kota Baru karena Kumpulan Guthrie Berhad adalah perusahaan raksasa, kami tidak tahu,” tegasnya. — Rakyat Merdeka, 23 June 2010

 



Comments
Loading...