Kenyataan Bersama Organisasi-organisasi Masyarakat Sivil (CSOs) atas penggunaan sejagat kalimah Allah
Syak wasangka terhadap fenomena Kristian berdoa kepada Allah sebenarnya satu kejutan budaya yang dialami oleh Muslim di Semenanjung dan akibat semulajadi dua perkembangan, pertama, kejayaan Dasar Bahasa Kebangsaan yang memulihkan populariti Bahasa Malaysia di kalangan Bumiputera Sabah dan Sarawak; kedua, integrasi antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat yang meningkat dengan bertambahnya anak Sabah dan Sarawak berhijrah ke Semenanjung.
Kerajaan diseru tarik balik rayuan. Semua pihak diseru terima keputusan Mahkamah Tinggi dan beranjak ke depan.
Kami, organisasi-organisasi masyarakat sivil (CSOs) yang bertandatangan di bawah menyeru Perdana Menteri Tan Sri Muhyiddin Yassin untuk menarik balik rayuan Kerajaan terhadap keputusan Mahkamah Tinggi pada 10 Mac untuk membenarkan semua anak Malaysia untuk menggunakan kalimah Allah, perkataan bermakna Yang Maha Esa yang dipinjam daripada bahasa Arab oleh Bahasa Malaysia, Bahasa Iban, Bahasa Bidayuh, Bahasa Lun Bawang/Lun Dayeh/Kelabit dan Bahasa Punjabi.
Kami menyeru Kerajaan dan Rakyat Malaysia untuk mengambil keputusan Mahkamah Tinggi ini sebagai peluang untuk menamatkan satu polemik yang telah berlanjut selama 35 tahun sejak keputusan Kabinet Persekutuan untuk mengharamkan penggunaan sejagat kalimah Allah. Semua parti politik tidak harus menangguk di air keruh untuk meraih populariti politik dengan isu ini.
Ramai orang Muslim di Semenanjung mensyaki Kristian berdoa dalam Bahasa Malaysia dan kepada Allah, satu fenomena yang semakin nampak sejak 1980an, adalah helah sengaja untuk memurtadkan orang Muslim.
Realitinya, kebanyakan Kristian yang berdoa kepada Allah adalah orang Sabah, orang Sarawak dan Orang Asli. Muslim di Sabah dan Sarawak, yang ramai antara mereka mempunyai saudara-mara dan sahabat handal Kristian, rasa senang dan tidak terancam dengan Kristian berdoa kepada Allah, sepertimana juga Muslim di Indonesia dan dunia Arab.
Syak wasangka terhadap fenomena Kristian berdoa kepada Allah sebenarnya satu kejutan budaya yang dialami oleh Muslim di Semenanjung dan akibat semulajadi dua perkembangan, pertama, kejayaan Dasar Bahasa Kebangsaan yang memulihkan populariti Bahasa Malaysia di kalangan Bumiputera Sabah dan Sarawak; kedua, integrasi antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat yang meningkat dengan bertambahnya anak Sabah dan Sarawak berhijrah ke Semenanjung.
Sebagai reaksi susuran kejutan budaya itu, pengharaman oleh Kabinet Persekutuan pada tahun 1986 atas penggunaan sejagat kalimah Allah berpunca daripada ketakutan komuniti Muslim menjadi sasaran kepada pendakwahan agresif, yang sememangnya ditakuti oleh semua komuniti agama yang lain.
Di sebalik kejutan budaya ialah kejahilan tentang fakta bahawa Kristian di Nusantara sudahpun berdoa kepada Allah dalam Bahasa Melayu, Bahasa Iban (‘Allah Taala’), Bahasa Bidayuh (Tuhan Alla), Bahasa Lun Bawang/Lun Dayeh/Kelabit (Tuhan Allah) dan bahasa-bahasa serumpun yang lain secara keseluruhannya sudah selama 476 tahun.
Tiada pihak harus memprokovasi dan menyebarkan ketakutan tidak berasas bahawa Muslim akan murtad dengan Kristian berdoa kepada Allah. Fakta yang tidak dapat dipertikaikan ialah hampir atau lebih daripada 90% penduduk di negara-negara Arab dan Indonesia adalah Muslim sungguhpun Muslim dan Kristian telah berkongsi kalimah Allah dan istilah-istilaha keagamaan yang lain selama 1,442 dan 476 tahun.
Keputusan Mahkamah Tinggi sekadar memulihkan status kuo sebelum tahun 1986 dan mematahkan satu sekatan ke atas Kristian Sabah, Sarawak dan Orang Asli atas ancaman tidak berasas yang terasa oleh Muslim Semenanjung tetapi langsung tidak dikongsi oleh Muslim Sabah dan Sarawak.
Keputusan Mahkamah Tinggi seharusnya dilihat positif atas dua asas. Pertama, ia mengukuhkan Malaysia apabila Kristian di Sabah dan Sarawak dapat berdoa kepada Allah sebebas sepupu Kristian mereka di Kalimantan, Indonesia. Kedua, ia mengukuhkan kedudukan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Kebangsaan untuk semua.
Diusahadayakan oleh Engage dan Pusat Komunikasi Masyarakat (KOMAS), kenyataan ini ditandatangai oleh sebanyak 65 organisasi masyarakat sivil (CSO) yang mewakili pelbagai negeri, komuniti dan sektor:
- Advancing Knowledge in Democracy and Law initiative (AKDL)
- Agora Society Malaysia
- Aliran Kesedaran Negara (ALIRAN)
- All Women Action Society (AWAM)
- Association of Women Lawyers
- Belia di Bawah Bayu, Sabah
- Beyond Borders Malaysia
- Centre for Independent Journalism (CIJ)
- Childline Foundation
- Community Action Network (CAN)
- Engage
- Freedom Film Network (FFN)
- G25
- Gerakan Mahasiswa Maju UPM
- Global Organisation of People of Indian Origin (GOPIO Malaysia)
- Good Samaritan Kuala Lumpur
- Growing and Emerging Leaders (GEL)
- Jagoi Area Development Committee (JADC)
- Jaringan Kampung Orang Asli Semenanjung Malaysia (JKOASM)
- Jaringan Orang Asal SeMalaysia (JOAS)
- Justice for Sisters
- Kuala Lumpur & Selangor Chinese Assembly Hall (KLSCAH)
- LLG Cultural Development Centre (LLG)
- Malaysian Action for Justice and Unity (MAJU)
- Malaysia First
- Merdeka University Berhad
- Muslim Professional Forum (MPF)
- New Student Movement Alliance of Malaysia
- North South Initiative
- Oriental Hearts and Mind Study Institute (OHMSI)
- Our Journey
- PACOS Trust
- Pasukan Pembela Hak Rakyat Sabah (PEMBELA)
- People Like Us Support Ourselves (PLUsos)
- Pergerakan Tenaga Akademik Malaysia (GERAK)
- Persatuan Dayak Sarawak (PEDAS)
- Persatuan Masyarakat Tering (PmTm) Miri.
- Persatuan Pemangkin Daya Masyarakat (R. O. S. E)
- Persatuan Penduduk Galing Besar Kuantan
- Persatuan Promosi Hak Asasi Manusia (Proham)
- Persatuan Sahabat Wanita Selangor
- Persatuan Wanita Desa Sarawak (WADESA)
- Persekutuan Persatuan-Persatuan Lembaga Pengurus Sekolah Cina Malaysia (Dong Zong)
- Pertubuhan Paradigma Wanita Sabah (AWAS)
- Pertubuhan Solidariti Hijau Kuantan
- Protect & Save the Children
- Pusat KOMAS (KOMAS)
- Sabah Human Rights Centre
- Sabah Reform Initiative (SARI)
- Sabah Women’s Action-Resource Group (SAWO)
- Sahabat Rakyat 人民之友மக்கள் தோழர்கள்
- Sarawak Women for Women Society
- Saudara Socio-Cultural Research
- SAVE Rivers
- SCRIPS Malaysia
- Sisters in Islam (SIS)
- SUARAM (Suara Rakyat Malaysia)
- TENAGANITA
- Teoh Beng Hock Trust for Democracy (TBHT)
- To Earth with Love, Sabah
- Undi Sabah
- University of Malaya Association of New Youth (UMANY)
- Voice of Youtharian
- Voice Your Choice
- WISDOM Foundation, Sabah
- Women Aid Organisation (WAO)
——————————————————————————
CSOs’ Joint Statement on the universal use of Allah
Government should withdraw appeal. Let’s accept the lift of Allah ban and move on.
We the undersigned Civil Society Organisations (CSOs) urge Prime Minister Tan Sri Muhyiddin Yassin to withdraw the Government’s appeal against the High Court’s decision on 30 March to allow all Malaysians to use the word Allah, the Arabic word for the God borrowed by Bahasa Malaysia, Bahasa Iban, Bahasa Bidayuh, Bahasa Lun Bawang/Lun Dayeh/Kelabit and Bahasa Punjabi.
We call upon the Government and People of Malaysia to seize the High Court’s decision as the closure of the 35-year-old polemic since the Federal Cabinet’s decision to ban its universal use. All political parties should not exploit the High Court’s decision for narrow political mileage.
Many Peninsular Muslims suspect that Christians praying in Bahasa Malaysia and to Allah, a phenomenon increasingly noticeable since 1980s, is a deliberate attempt to convert Muslims.
In reality, Christians who recite Allah in prayers are predominantly Sabahans, Sarawakians and Orang Asli. Muslims in Sabah and Sarawak, many of whom have Christians families and friends, are comfortable and not alarmed by Christians praying to Allah, just like Muslims in Indonesia and the Arab world.
That suspicion against Christians praying to Allah is actually a cultural shock experienced by Peninsular Muslims and the natural outcome of two phenomena, first, the success of the National Language Policy which reversed the decline of Bahasa Malaysia amongst natives in Borneo; and, second, the closer integration of East and West Malaysia as more Sabahans and Sarawakians migrate to the Peninsula for education and employment.
As a response of the cultural shock, the ban on universal use of Allah by the Federal Cabinet in 1986 stemmed from concern of the Muslim community fearing itself becoming the target of aggressive proselytization, incidentally a common concern of all other religious communities.
Underlying such cultural shock is the ignorance that Christians in Nusantara have been praying to Allah in Bahasa Melayu, Bahasa Iban, Bahasa Bidayuh, Bahasa Lun Bawang/Lun Dayeh/Kelabit and some other regional languages for as long as 476 years.
No party should provoke and spread unfounded fear that Christians praying to Allah would lead to Muslims’ apostasy. The undisputed fact is that Muslims constitute near or more than 90% of population in Arab countries and Indonesia, even though Muslims and Christians have shared the word Allah and other religious terms for 1,442 and 476 years respectively.
The High Court’s decision is but restoring the pre-1986 status quo and undoing a restriction on Sabah, Sarawak and Orang Asli Christians on an unfounded threat felt by many Peninsular Muslims but not shared by Sabah and Sarawak Muslims.
The High Court’s decision should be viewed positively for two grounds. First, it would strengthen Malaysia when Christians in Sabah and Sarawak can freely pray to Allah as their Christian cousins in Indonesian Kalimantan do. Second, it is reaffirming the status of Bahasa Malaysia as the national language for all.
Initiated by Engage and Pusat KOMAS (KOMAS), this statement is endorsed by a total of 65 civil society organisations representing different states, communities and sectors:
- Advancing Knowledge in Democracy and Law initiative (AKDL)
- Agora Society Malaysia
- Aliran Kesedaran Negara (ALIRAN)
- All Women Action Society (AWAM)
- Association of Women Lawyers
- Belia di Bawah Bayu, Sabah
- Beyond Borders Malaysia
- Centre for Independent Journalism (CIJ)
- Childline Foundation
- Community Action Network (CAN)
- Engage
- Freedom Film Network (FFN)
- G25
- Gerakan Mahasiswa Maju UPM
- Global Organisation of People of Indian Origin (GOPIO Malaysia)
- Good Samaritan Kuala Lumpur
- Growing and Emerging Leaders (GEL)
- Jagoi Area Development Committee (JADC)
- Jaringan Kampung Orang Asli Semenanjung Malaysia (JKOASM)
- Jaringan Orang Asal SeMalaysia (JOAS)
- Justice for Sisters
- Kuala Lumpur & Selangor Chinese Assembly Hall (KLSCAH)
- LLG Cultural Development Centre (LLG)
- Malaysian Action for Justice and Unity (MAJU)
- Malaysia First
- Merdeka University Berhad
- Muslim Professional Forum (MPF)
- New Student Movement Alliance of Malaysia
- North South Initiative
- Oriental Hearts and Mind Study Institute (OHMSI)
- Our Journey
- PACOS Trust
- Pasukan Pembela Hak Rakyat Sabah (PEMBELA)
- People Like Us Support Ourselves (PLUsos)
- Pergerakan Tenaga Akademik Malaysia (GERAK)
- Persatuan Dayak Sarawak (PEDAS)
- Persatuan Masyarakat Tering (PmTm) Miri.
- Persatuan Pemangkin Daya Masyarakat (R. O. S. E)
- Persatuan Penduduk Galing Besar Kuantan
- Persatuan Promosi Hak Asasi Manusia (Proham)
- Persatuan Sahabat Wanita Selangor
- Persatuan Wanita Desa Sarawak (WADESA)
- Persekutuan Persatuan-Persatuan Lembaga Pengurus Sekolah Cina Malaysia (Dong Zong)
- Pertubuhan Paradigma Wanita Sabah (AWAS)
- Pertubuhan Solidariti Hijau Kuantan
- Protect & Save the Children
- Pusat KOMAS (KOMAS)
- Sabah Human Rights Centre
- Sabah Reform Initiative (SARI)
- Sabah Women’s Action-Resource Group (SAWO)
- Sahabat Rakyat 人民之友மக்கள் தோழர்கள்
- Sarawak Women for Women Society
- Saudara Socio-Cultural Research
- SAVE Rivers
- SCRIPS Malaysia
- Sisters in Islam (SIS)
- SUARAM (Suara Rakyat Malaysia)
- TENAGANITA
- Teoh Beng Hock Trust for Democracy (TBHT)
- To Earth with Love, Sabah
- Undi Sabah
- University of Malaya Association of New Youth (UMANY)
- Voice of Youtharian
- Voice Your Choice
- WISDOM Foundation, Sabah
- Women Aid Organisation (WAO)